Oleh: Aspiannor Masrie, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisip Unhas
Realitas ini, memungkinkan akan terulangnya kasus yang sama dengan modus oprandi yang lebih beragam dan komplek karena keduanya sedang menjabat jabatan publik, SYL sebagai Gebernur dan ketua Golkar, sedangkan IAS sebagai Wali Kota Makassar dan Ketua Partai Demokrat. Sehingga, rawan akan terjadi pelanggaran karena sulit memisahkan tugas mereka sebagai aktivitas politik dan aktivitas birokrat
Menjelang suksesi kepemimpinan Sulsel, 22 Januari 2013. Ada fenomena menarik yang berkembang di tengah masyarakat dengan mulai timbulnya kesadaran berpolitik. Hampir semua lapisan masyarakat tertarik dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung melalui diskusi ala warkop terkait isu-isu politik yang sedang berkembang, terutama menyangkut aktivitas dari para kandidat yang akan bertarung di pemilukada tersebut.
Dari pengamatan penulis, berbagai pihak begitu antusias membicarakannya mulai dari politisi, pengamat politik, akademis, tokoh agama, mahasiwa, pedagang, supir angkot, bahkan ibu-ibu rumah tangga ikut serta berpartisipasi menurut presektif mereka masing-masing. Uniknya, pasca deklarasi pasangan IAS-Azis, topik yang menjadi dominasi dalam perbincangan mereka menyangkut revalitas Syahrul Yahin Limpo (SYL) dengan Ilham Arief Sirajuddin (IAS). Realitas ini, diperkuat kehadiran media massa secara intensif memberitakan perkembangan perpolitikan menjelang suksesi tersebut, terutama aktivitas politik SYL dan IAS.
Peristiwa ini mengigatkan prediksi saya, ketika diwawancarai salah seorang wartawan Harian Tribun Timur tahun lalu (2011), bahwa tahun 2012 akan terjadi peningkatan libido perpolitikan Sul Sel karena akan bertepatan dengan Pemilukada di tujuh kabupaten/kota, yaitu: Bone, Palopo, Sinjai, Bantaeng, Parepare, Sidenreng Rappang, dan Pinrang.
Disamping itu, Sulsel merupakan salah satu daerah tolok ukur dalam perpolitikan nasional dengan menjadikannya ajang uji coba pertarungan partai-partai politik besar pada pemilu 2014, terutama Golkar yang mengusung SYL dan Demokrat yang mengusung IAS. Namun demikian, ada sejumlah fakta yang cukup memprihatikan secara etika politik yang berkembang di tengah masyarakat, yaitu adanya kecendrungan para kandidat mengabaikan aturan-aturan main yang berlaku.
Meskipun jadwal kampanye telah ditetapkan akan berlangsung pada 5-18 Januari 2013, namun para kandidat sudah mulai curi start dengan berbagai dalih pembenaran. Hal ini disebabkan karena KPUD sebagai panitia penyelengara belum maksimal menjalankan tugasnya karena payung hukum yang masih lemah dan belum adanya Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang menjadi kontrol terhadap aturan main yang ada.
Kondisi ini memberikan celah bagi setiap kandidat untuk menetapkan agendanya sendiri-sendiri yang bisa menguntungkan secara politis guna meningkatkan citra politiknya. Sehingga, terjadinya pembiaran malpraktek demokrasi.
Malpraktek Demokrasi
Pemilukada Sulsel merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, bertujuan untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan kehendak masyarakat sebagai periode lima tahun ke depan (2013-2018). Menjelang momen tersebut, masyarakat diharapkan punya kesadaran (melek) berpolitk agar nanti bisa memilih secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber), berdasarkan azas kejujuran dan keadilan di hari H-nya.
Pilihan mereka diharapkan sesuai hati nurani dengan berbagai pertimbangan berdasarkan geopolitik dan geostrategis yang dimiliki para kandidat yang bertarung. Dalam Undang-Undang Pemilu memang disebutkan tentang berbagai jenis pelanggaran pelaksanaan pemilukada yang sangat mungkin terjadi akan tetapi pelanggaran-pelanggaran tersebut sangat sulit membuktikannya. Sehingga, bila terjadi pelangaran maka akan banyak menguras energi untuk membuktikannya.
Dalam catatan yang ditangani oleh Panwaslu dalam periode 2011-misalnya, pemilukada yang bebas sengketa hanya di 65 daerah atau sekitar 28 persen. Sedangkan, pelaksanaan pemilihan kepala daerah 2010 di 154 Kabupaten/Kota dan 7 Provinsi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan 1767 pelanggaran yang dilakukan yang dibagi menjadi tiga kategori: 1179 pelanggaran administrasi, 572 pelanggaran pidana dan 16 pelanggaran kode etik oleh penyelenggara.
Bentuk-bentuk pelanggaran didominasi dugaan keterlibatan birokrasi (PNS), praktik politik uang (money politics), tekanan (intimidasi), kekerasan, faktor petugas penyelenggara, dan faktor pengawas. Sebagai gambaran, pelangaran yang sering terjadi tercatat money politics 367 kasus dan ketidaknetralan PNS 63 kasus. Sulsel dalam Pemilukada 2008, memiliki catatan pahit dengan berbagai pelangaran yang berakhir di Mahkamah Agung (MA).
Realitas ini, memungkinkan akan terulangnya kasus yang sama dengan modus oprandi yang lebih beragam dan komplek karena keduanya sedang menjabat jabatan publik, SYL sebagai Gebernur dan ketua Golkar, sedangkan IAS sebagai Wali Kota Makassar dan Ketua Partai Demokrat. Sehingga, rawan akan terjadi pelanggaran karena sulit memisahkan tugas mereka sebagai aktivitas politik dan aktivitas birokrat.
Dalam tulisan saya di Harian Tribun Timur (19/12/2011), berjudul: The Spiral Of Silence Ala Warkop, terlihat jelas bagaimana PNS sulit bersikap netral karena ada tekanan secara terselubung dengan menerapan reward and punishment. Bahkan, para kandidat diduga mengunakan berbagai fasilitas negara dalam aktivitas politiknya. Sehingga, dibutuhkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang idependen dalam menyikapi permasalahan seperti ini.
Independensi KPUD
Masyarakat Sulsel boleh saja tidak percaya terhadap kredibilitas partai politik mengusung kandidat yang tidak pro terhadap masyarakat. Namun, hal tersebut tidak boleh terjadi pada KPUD. Ibarat permainan sepakbola, KPUD merupakan wasit yang harus bersifat netral untuk menjaga independensinya dari berbagai tekanan agar terjadi fairplay dalam pertandingan tersebut.
Disamping itu, sang wasit harus bersikap tegas dalam setiap pelangaran yang dilakukan setiap pemain. Kartu kuning sebagai peringatan pelangaran dan kartu merah untuk menghentingan pelangaran yang harus berani diputuskan agar para pemain bermain sesuai dengan aturan yang berlaku.
Apabila KPUD sebagai wasit pemilukada ikut bermain, maka akan melukai nurani rakyat. Dimana, pemerintah yang dihasilkan tidak kredibel karena prosesnya cacat, sehingga tidak menghasilkan pemimpin yang kredibel di mata masyarakat karena dianggap sebagai insider trading (penipuan publik). Bila terjadi demikian, maka terjadi malpraktek demokrasi yang menimbulkan skeptisisme masyarakat terhadap KPUD.
KPUD sebagai penyelenggara Pemilukada harus bersikap independen dalam menyikapi kategori pelanggaran. Dimana, KPUD tidak memihak siapa pun dan berada dalam posisi netral untuk memperlancar jalannya proses Pemilukada. KPUD harus berani nengingatkan para kandidat gebernur beserta seluruh stake holder-nya termasuk partai politik, organisasi pendukung, masyarakat pendukung, dan tim suksesnya agar bermain sesuai dengan track yang berlakuk sebagai wujud dari kedewasaan berdemokrasi.
Kita bisa belajar dari Pemilukada Sulsel 2008, nyaris menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Oleh karena itu, ada baiknya KPUD menyimak pepatah Bugis dalam menjalankan tugasnya: Kessingngi Bunge'na Ungae Na Malawinna. Artinya alangkah baiknya bunga pada saat mekar daripada saat layu. Dimana, KPUD harus bersikap tegas pada setiap pelangaran sekecil apa pun dengan tidak melakukan pembiaran yang akan berdampak buruk di kemudian hari.
Karena, libodi perpolitikan Sulsel sedang dalam kondisi puncak yang sangat sensitif dan rawan terhadap berbagai pelangaran mengakibatkan terjadinya benturan massa pendukung. Apabila KPUD melakukan pembiaran, maka akan terjadi anarkisme politik di tengah masyarakat yang akan merugikan masyarakat Sulsel secara politik.
Realitas ini, memungkinkan akan terulangnya kasus yang sama dengan modus oprandi yang lebih beragam dan komplek karena keduanya sedang menjabat jabatan publik, SYL sebagai Gebernur dan ketua Golkar, sedangkan IAS sebagai Wali Kota Makassar dan Ketua Partai Demokrat. Sehingga, rawan akan terjadi pelanggaran karena sulit memisahkan tugas mereka sebagai aktivitas politik dan aktivitas birokrat
Menjelang suksesi kepemimpinan Sulsel, 22 Januari 2013. Ada fenomena menarik yang berkembang di tengah masyarakat dengan mulai timbulnya kesadaran berpolitik. Hampir semua lapisan masyarakat tertarik dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung melalui diskusi ala warkop terkait isu-isu politik yang sedang berkembang, terutama menyangkut aktivitas dari para kandidat yang akan bertarung di pemilukada tersebut.
Dari pengamatan penulis, berbagai pihak begitu antusias membicarakannya mulai dari politisi, pengamat politik, akademis, tokoh agama, mahasiwa, pedagang, supir angkot, bahkan ibu-ibu rumah tangga ikut serta berpartisipasi menurut presektif mereka masing-masing. Uniknya, pasca deklarasi pasangan IAS-Azis, topik yang menjadi dominasi dalam perbincangan mereka menyangkut revalitas Syahrul Yahin Limpo (SYL) dengan Ilham Arief Sirajuddin (IAS). Realitas ini, diperkuat kehadiran media massa secara intensif memberitakan perkembangan perpolitikan menjelang suksesi tersebut, terutama aktivitas politik SYL dan IAS.
Peristiwa ini mengigatkan prediksi saya, ketika diwawancarai salah seorang wartawan Harian Tribun Timur tahun lalu (2011), bahwa tahun 2012 akan terjadi peningkatan libido perpolitikan Sul Sel karena akan bertepatan dengan Pemilukada di tujuh kabupaten/kota, yaitu: Bone, Palopo, Sinjai, Bantaeng, Parepare, Sidenreng Rappang, dan Pinrang.
Disamping itu, Sulsel merupakan salah satu daerah tolok ukur dalam perpolitikan nasional dengan menjadikannya ajang uji coba pertarungan partai-partai politik besar pada pemilu 2014, terutama Golkar yang mengusung SYL dan Demokrat yang mengusung IAS. Namun demikian, ada sejumlah fakta yang cukup memprihatikan secara etika politik yang berkembang di tengah masyarakat, yaitu adanya kecendrungan para kandidat mengabaikan aturan-aturan main yang berlaku.
Meskipun jadwal kampanye telah ditetapkan akan berlangsung pada 5-18 Januari 2013, namun para kandidat sudah mulai curi start dengan berbagai dalih pembenaran. Hal ini disebabkan karena KPUD sebagai panitia penyelengara belum maksimal menjalankan tugasnya karena payung hukum yang masih lemah dan belum adanya Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang menjadi kontrol terhadap aturan main yang ada.
Kondisi ini memberikan celah bagi setiap kandidat untuk menetapkan agendanya sendiri-sendiri yang bisa menguntungkan secara politis guna meningkatkan citra politiknya. Sehingga, terjadinya pembiaran malpraktek demokrasi.
Malpraktek Demokrasi
Pemilukada Sulsel merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, bertujuan untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan kehendak masyarakat sebagai periode lima tahun ke depan (2013-2018). Menjelang momen tersebut, masyarakat diharapkan punya kesadaran (melek) berpolitk agar nanti bisa memilih secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber), berdasarkan azas kejujuran dan keadilan di hari H-nya.
Pilihan mereka diharapkan sesuai hati nurani dengan berbagai pertimbangan berdasarkan geopolitik dan geostrategis yang dimiliki para kandidat yang bertarung. Dalam Undang-Undang Pemilu memang disebutkan tentang berbagai jenis pelanggaran pelaksanaan pemilukada yang sangat mungkin terjadi akan tetapi pelanggaran-pelanggaran tersebut sangat sulit membuktikannya. Sehingga, bila terjadi pelangaran maka akan banyak menguras energi untuk membuktikannya.
Dalam catatan yang ditangani oleh Panwaslu dalam periode 2011-misalnya, pemilukada yang bebas sengketa hanya di 65 daerah atau sekitar 28 persen. Sedangkan, pelaksanaan pemilihan kepala daerah 2010 di 154 Kabupaten/Kota dan 7 Provinsi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan 1767 pelanggaran yang dilakukan yang dibagi menjadi tiga kategori: 1179 pelanggaran administrasi, 572 pelanggaran pidana dan 16 pelanggaran kode etik oleh penyelenggara.
Bentuk-bentuk pelanggaran didominasi dugaan keterlibatan birokrasi (PNS), praktik politik uang (money politics), tekanan (intimidasi), kekerasan, faktor petugas penyelenggara, dan faktor pengawas. Sebagai gambaran, pelangaran yang sering terjadi tercatat money politics 367 kasus dan ketidaknetralan PNS 63 kasus. Sulsel dalam Pemilukada 2008, memiliki catatan pahit dengan berbagai pelangaran yang berakhir di Mahkamah Agung (MA).
Realitas ini, memungkinkan akan terulangnya kasus yang sama dengan modus oprandi yang lebih beragam dan komplek karena keduanya sedang menjabat jabatan publik, SYL sebagai Gebernur dan ketua Golkar, sedangkan IAS sebagai Wali Kota Makassar dan Ketua Partai Demokrat. Sehingga, rawan akan terjadi pelanggaran karena sulit memisahkan tugas mereka sebagai aktivitas politik dan aktivitas birokrat.
Dalam tulisan saya di Harian Tribun Timur (19/12/2011), berjudul: The Spiral Of Silence Ala Warkop, terlihat jelas bagaimana PNS sulit bersikap netral karena ada tekanan secara terselubung dengan menerapan reward and punishment. Bahkan, para kandidat diduga mengunakan berbagai fasilitas negara dalam aktivitas politiknya. Sehingga, dibutuhkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang idependen dalam menyikapi permasalahan seperti ini.
Independensi KPUD
Masyarakat Sulsel boleh saja tidak percaya terhadap kredibilitas partai politik mengusung kandidat yang tidak pro terhadap masyarakat. Namun, hal tersebut tidak boleh terjadi pada KPUD. Ibarat permainan sepakbola, KPUD merupakan wasit yang harus bersifat netral untuk menjaga independensinya dari berbagai tekanan agar terjadi fairplay dalam pertandingan tersebut.
Disamping itu, sang wasit harus bersikap tegas dalam setiap pelangaran yang dilakukan setiap pemain. Kartu kuning sebagai peringatan pelangaran dan kartu merah untuk menghentingan pelangaran yang harus berani diputuskan agar para pemain bermain sesuai dengan aturan yang berlaku.
Apabila KPUD sebagai wasit pemilukada ikut bermain, maka akan melukai nurani rakyat. Dimana, pemerintah yang dihasilkan tidak kredibel karena prosesnya cacat, sehingga tidak menghasilkan pemimpin yang kredibel di mata masyarakat karena dianggap sebagai insider trading (penipuan publik). Bila terjadi demikian, maka terjadi malpraktek demokrasi yang menimbulkan skeptisisme masyarakat terhadap KPUD.
KPUD sebagai penyelenggara Pemilukada harus bersikap independen dalam menyikapi kategori pelanggaran. Dimana, KPUD tidak memihak siapa pun dan berada dalam posisi netral untuk memperlancar jalannya proses Pemilukada. KPUD harus berani nengingatkan para kandidat gebernur beserta seluruh stake holder-nya termasuk partai politik, organisasi pendukung, masyarakat pendukung, dan tim suksesnya agar bermain sesuai dengan track yang berlakuk sebagai wujud dari kedewasaan berdemokrasi.
Kita bisa belajar dari Pemilukada Sulsel 2008, nyaris menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Oleh karena itu, ada baiknya KPUD menyimak pepatah Bugis dalam menjalankan tugasnya: Kessingngi Bunge'na Ungae Na Malawinna. Artinya alangkah baiknya bunga pada saat mekar daripada saat layu. Dimana, KPUD harus bersikap tegas pada setiap pelangaran sekecil apa pun dengan tidak melakukan pembiaran yang akan berdampak buruk di kemudian hari.
Karena, libodi perpolitikan Sulsel sedang dalam kondisi puncak yang sangat sensitif dan rawan terhadap berbagai pelangaran mengakibatkan terjadinya benturan massa pendukung. Apabila KPUD melakukan pembiaran, maka akan terjadi anarkisme politik di tengah masyarakat yang akan merugikan masyarakat Sulsel secara politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar